Aku benci jika harus datang ke tempat ini. Mendengar namanya saja mengingatkan aku pada sakitnya sebuah perpisahan. Aku harus merelakan orang terkasihku tidur untuk selamanya di sini. Tanpa teman. Sepi.
Kutatap namanya yang terukir. Aku menghembuskan nafas pelan dan tersenyum kelu. Buliran air mata memanaskan pelupuk mataku. Ini untuk kesekian kali aku datang ke sini dan untuk kesekian kali pula aku menangisinya.
“Putri!” Aku berucap seolah mengeja namanya.
Angin berhembus pelan. Meniup daun-daun untuk menari bersamanya. Gemerisik dahan yang saling bersentuhan menemaniku bersama gundukan yang membisu. Aku menyapu sisi bawah mataku. Mencoba untuk tersenyum kembali tersenyum meski itu sulit dilakukan.
“Aku, aku akan hidup dengan sangat baik meski kau meninggalkanku!! Camkan itu! Ini janjiku padamu!!” Aku berujar seolah-olah dia ada di hadapanku. Aku meletakkan sebuket bunga mawar sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Pergi tanpa menoleh lagi.
***
“Berhentilah sejenak, Kevin!!” Tegur suara mama. Kepalanya melonjak dari balik pintu.
“Ya, sebentar lagi!!” Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
“Kau ini susah untuk diusik. Coba seandainya Putri masih ada, dia pasti bisa mengurusmu!” Gumaman nyaring mama jelas terdengar olehku. Aku berhenti sejenak. Bayang-bayang putri kembali hadir. Aku menghela nafas. Berat memang.
“Aku pasti bisa hidup tanpanya!” Lirihku sambil beranjak dari duduk. Berjalan ke dapur. Kudapati mama memandangku juga kedua adik laki-lakiku dengan tatapan bingung. Mungkin tak biasa melihat aku dengan cepat ke meja makan. Selama ini aku selalu menunda makanku dibanding menyesaikan tugas kantor.
“Ada apa?” Tanyaku sebelum menyuap sesendok nasi. Mereka bertukar pandang, lalu menggelengkan kepala serempak.
“Kau tak apa kan?” Tanya mama penasaran.
“Apa dari tadi aku kelihatan aneh?” Aku balik bertanya padanya.
“Tidak!” Mama menjawab pelan meski matanya tak lepas dari gerak-gerikku.
***
“Hey, sudah pagi. Bangunlah! Kau harus kerja sekarang!” Sepasang tangan mencoba menggerakkanku. Aku enggan untuk membuka mata. “Bangunlah, pandaku!!” Aku terhenyak dan mataku langsung terbelalak. Membesar karena tak percaya. Hanya satu orang saja yang sering memanggilku begitu. Dan tak ada yang tahu panggilan itu selain, Putri.
Aku langsung memalingkan badan memastikan terkaanku benar. Wajahnya begitu terkejut melihat reaksiku tiba-tiba. Walau terkejut wajahnya tetap menarik untukku. Aku buru-buru bangun dan menggapainya pundaknya. Apakah ini nyata atau hanya mimpi. Senyumnya menghiasi bibirnya. Senyum yang aku rindu darinya.
Tak diayal lagi aku langsung memeluknya erat. Meski ia kembali heran. Bagiku itu tak masalah, asal ia tak pergi lagi dariku.
“Kau, baik-baik saja kan?” Tanyanya sambil membelai rambutku pelan. Aku mengangguk dalam posisi masih memeluknya.
“Jangan pergi dariku?”
“Heh?!” Ia melepaskan pelukanku dan menyerngitkan keningnya.
“Pokoknya aku melarangmu pergi jauh dariku!!” Aku tak memperdulikan tanggapannya. Aku kembali memaksanya ke dalam pelukanku.
“Kapan aku pergi darimu?” Tanyanya sambil membalas pelukanku.
“Aku mencintaimu, aku takut kehilanganmu!” Aku terus berkicau dengan kata-kata yang langka di bibirku.
“Hem...aku akan selalu bersamamu!! Sekarang pergilah mandi. Kau bau!” Aku melepas pelukanku dan sekali lagi memandang lekuk wajahnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Ada semburat merah mewarnai pipinya. Itu juga salah satu yang aku rindukan dari sosoknya.
Senyum tak lepas dari bibirku. Aku seperti laki-laki yang jatuh cinta kembali. Melihatnya kembali seperti mimpi. Aku baru kehilangannya sekitar sebulan yang lalu. Tapi bagaimana ceritanya ia kembali untukku. Aku menggit jariku untuk memastikan ini bukan mimpi. Sakit. Ini bukan mimpi.
Keluar dari kamar. Ia sudah menantiku di meja makan. Ia memasakkan nasi goreng, ayam goreng dan segelas susu coklat hangat. Mataku tak mau lepas dari wajahnya. Aku tahu itu membuatnya malu dan tertunduk tak mau menatapku.
“Aku akan berangkat sekarang!!” Aku mengakhiri sarapan. Ia masih belum berani menatapku. Aku menghampirinya. Memeluknya hangat dan mengecup keningnya seperti biasanya. Ingin rasanya aku mencubit pipinya jika bertingkah seperti ini.
***
“Kelihatannya kau senang sekali hari ini?!” Goda Augush padaku saat kami sedang makan di kantin kantor. “Apa istrimu, hamil?” Tanyanya menebak. Aku menggeleng.
“Kau sembarangan!!” Ujarku sambil menjitak jidatnya.
“Kau ingin segera pulang, ya?” Godanya lagi. Aku tidak tahu bagaimana menutupi perasaan bahagiaku. Aku hanya menjitaknya sekali lagi. “Berhentilah! Menjitakku, sakit!!” Ia protes sambil memegang jidatnya.
“Itu hukuman karena sikapmu!!” Ujarku sambil melaluinya.
“Kau tak tahu caranya bercanda, ya!” Ia masih memerotesku keras meski aku tak berkutik dari jalanku.
***
Aku melaju dengan senyum di bibir. Aku sudah sangat merindukannya. Ingin secepatnya sampai di rumah. Bersamanya adalah satu-satunya obat bagiku. Aku mendengus kesal saat aku harus berhenti karena lampu merah. Meski sebentar tapi bagiku itu tetap halangan. Kusapu sekeliling dengan pandanganku untuk mengusir kebosanan.
Ekor mataku tertuju pada sosok wanita berblus merah pucat. Wanita itu membawa kembang gula yang warnanya tak kala pucat dari baju yang dia pakai. Di bibirnya ada senyum yang merekah. Kenapa dia ada di sini. Aku meminggirkan mobil. Berlari mencari keberadaan wanita itu.
“Putri...!” Gumamku pelan. Mataku tak lepas dari setiap titik kepadatan, berharap bisa menemukannya. Aku berlari menyebrangi trotoar menuju tempat aku melihatnya pertama kali. “Putri...” Aku nyaris putus asa. Untunglah aku masih bisa menangkap kembang gula yang dibawanya. “PUTRI!!” Sekeras mungkin aku memanggilnya. Awalnya dia hanya berhenti. Melihat itu aku langsung berlari mengejarnya. Aku semakin semangat menghampirinya, saat ia berpaling dan aku tahu tak salah orang. Ia memandangku heran.
“Sedang apa di sini?” Tanyaku terengah-engah.
“Aku sedang ingin makan kembang gula!!” Ujarnya seraya tersenyum. Aneh. Tak biasanya dia begini.
“Kita pulang sekarang!” Aku menarik lengannya. Tak ada perlawanan darinya saat aku menuntunnya masuk ke dalam mobil. Tak ada percakapan tapi sesekali kami bertukar pandang. Ia kadang asyik sendiri dengan kembang gulanya. “Sejak kapan kau menyukai kembang gula?” Putri memandangku sekilas.
“Tidak tahu jua, tiba-tiba saja aku ingin makan ini!!”
“Tapi seharusnya kau minta saja padaku! Aku akan membelikannya untukmu!”
“Maaf, aku takut merepotkanmu!”
“Aku suamimu, mana mungkin aku merasa direpotkan!” Aku membelai rambut panjangnya. Kembali aku memperhatikannya. “Apa kau hamil?” Celotehku membuatnya membulatkan matanya lucu.
“Benarkah?!” Tanya polos. Melihatnya menjadi hiburanku sendiri.
“Apa perlu kita ke dokter?” Tanyaku membuatnya semakin lucu. Aku sebenarnya ingin sekali tertawa dengan keras.
“Kalau aku benar-benar hamil, bagaimana?”
“Aku akan bertanggung jawab!!” Jawabku asal. Tapi mampu membuatnya bersemu. Aku mencubit pipinya yang lucu itu. “Aku senang, kau kembali untukku!” Entahlah kata-kata itu terucap begitu saja.
Kami saling menatap lama. Aku pun seolah tak sadar dengan kemudiku. Matanya bak sihir bagiku. Menghipnotis agar tidak mengalihkan pandangan darinya. Tak ada menyadarkan aku kecuali cahaya terang dari kaca depan.
“Awas!!” Teriakkan Putri menyadarkanku. Aku langsung membanting stir ke arah kiri kemudi. Entah itu ke mana. Teriakan Putri yang ketakutan tak bisa aku hentikan. Aku menggenggam tangannya supaya tenang. Tak ada yang kurasa lagi selain aku terhempas ke kiri dan ke kanan. Semua terhenti entah di mana dan perlahan menjadi gelap.
***
Aku mengerjap mata. Pantulan sinar matahari mengusikku. Sekujur tubuh masih terasa sakit. Aku belum sepenuhnya sadar dengan keadaan sekitar. Pikiranku masih memutar balik secara lambat apa yang kualami.
“Putri...?” Aku langsung melonjak dari tempat tidur.
“Dokter dia sadar!!” Suara mamalah yang aku dengar. Aku memperhatikan sekitarku. Rumah sakit, pikirku.
“Ma, bagaimana dengan Putri?! Apa dia selamat? Di mana dia sekarang?” Tanyanyaku bertubi-tubi. Mama hanya mentapku tajam lantas menggelengkan kepala.
“Sampai kapan kau sadar, dia sudah tidak ada! Kau seperti orang bodoh, Kevin! Bangun, hidupmu terlalu berharga! Jangan hanya memikirkan yang telah pergi!!” Aku tidak sanggup jika harus mendengar itu. Pertahananku runtuh. Meski aku pria tapi siapa yang tahan jika kehilangan orang yang berharga. Mama merengkuhku yang sekarang rapuh. “Kau harus kuat, Kevin! Mama yakin kau bisa!!” Ucap beliau sambil menepuk punggungku. Beliau tidak menyuruhku berhenti menangis. Karena aku tidak akan merasa lega jika aku menahan tangisku.
***
“Kevin, selamat datang kembali di kantor!!” Augush menjulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan suka cita. “ Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Ehm, oke! Tak ada yang perlu dimasalahkan!”
“Baguslah kalau begitu! Semangat!!” Augush mengepalkan tangan di hadapanku. Ia lalu berlalu menuju meja kerjanya. Aku memandangnya sekilas sambil ternyum. Mataku kemudian tertuju pada foto pernikahanku dan Putri yang sengaja aku pajang di meja kerja. Aku meraihnya dan tersenyum.
“Aku pasti bisa tanpamu meski aku tak bisa melupakanmu!!” Aku mengusap wajahnya yang tersenyum. Cinta memang sesuatu yang unik. Sekiranya tidak bersama paling tidak selalu mengingat.
0 komentar :
Post a Comment
Untuk kemajuan blog ini, silahkan keluarkan kritik dan komentar anda! Thanks :)