Langit hari
ini mulai dihiasi butiran air hujan. Tetes demi tetesnya membentuk aliran
sungai kecil di tepian jalan hitam. Sepasang mata misterius memantau tiga cewek
berseragam sekolah. Matanya menyipit memastikan dia tidak salah orang. Sosok
misterius itu merapatkan jaketnya dan berlari menerobos hujan. Digenggamnya
tongkat baseball dengan kuat menutupi
rasa takutnya. Cewek yang diamatinya sekarang tinggal seorang diri.
“Mau apa kamu
ke sini??” cewek itu menyadari kehadiran si misterius. Tanpa berkata-kata lagi
tongkat baseball itu langsung
melayang ke wajahnya. Cewek berseragam langsung ambruk dengan bersimbah darah.
Matanya masih sempat melirik sinis pada korban sebelum pergi seperti sekelebat
bayangan hitam.
Hampir
sekitar sejam kemudian orang baru mengenali ada mayat yang sudah pucat dan
dingin terguyur air hujan. Orang-orang bergerombol ingin tahu apa yang terjadi
seperti semut menemukan gula manis.
***
Flashback
Aku baru saja
pindah ke sebuah sekolah favorit. Kepindahanku karena prestasi yang kuraih
selama ini. Siapa yang tidak senang bisa ada di sekolah yang diimpikan semua
orang dan rujukan bagi sekolah menengah atas lain. Kakiku terasa melayang saat
aku mulai memasuki gerbang. Aku berharap di sini bisa mendapatkan teman baru
dan menyenangkan.
“Hai!!” kucoba
menyapa ramah teman satu kelas. Tapi dugaaanku salah sepertinya, mereka hanya
menatapku tajam tanpa ada respon sedikit pun. Aku duduk tanpa tahu harus
melakukan apa.
“Hey, katanya
kamu siswa pindahan?” seorang cewek manis mendekatiku.
“Iya!!” aku
membalasnya disertai senyuman. Tak ada senyum balasan hanya ada lirikan sinis
yang kudapat.
“Katanya kamu
pintar, ya??” ia mendekatkan wajahnya dan menatapku lekat. “Bisakan mengerjakan
ini untukku?!” cewek itu menyodorkan selembar kertas yang dipenuhi tugas.
“Apa maksudmu?”
aku belum terlalu mengerti maksudnya.
“Jangan
banyak tanya, kerjakanlah saja!!” ia berteriak dan melempar kertas tugas itu
tepat di wajahku. Kami berdua jadi tontonan gratis satu kelas.
“Maksudnya
apa ini??” Aku berdiri dan menghentakkan tangan di meja. Reaksiku membuatnya
terkejut sejenak. Ia kemudian memamerkan senyum mengejeknya lagi. Ia semakin
mendekat padaku, tepatnya ke telingaku.
“Kenalkan aku
Sania, kerjakan saja tugas itu, atau beasiswamu dicabut!!” bisiknya. Ia
meninggalkan aku sambil tetap tersenyum manis. Aku menatapnya tidak berdaya
meski hatiku merasa geram.
Hari itu
bukan satu-satunya aku berurusan dengan cewek bernama Sania itu. Ia sepertinya
sengaja mengangguku dan tidak menyukai keberadaanku di sekolah ini. Dan seperti
hukum alam juga setiap orang yang berurusan dengannya akan susah bergerak dan
bersosialisasi dengan orang lain. Tak ada yang mau dekat denganku.
“Boleh aku
duduk di sini?!” tak seperti biasanya ada
seorang meminta izin duduk di sampingku. Seorang cowok lagi, itu adalah hal
langka. Aku hanya memandangnya sekilas lalu mengangguk. Kuakui dia termasuk
kategori ganteng
“Ngomong-ngomong
aku baru melihatmu, apa kamu murid baru?” tanyanya lagi. Aku mengangguk mesti
tidak memandang ke arahnya. “Perkenalkan aku Fadli!!” Ia lantas menyodorkan
tangannya. Aku menatap lekat tangannya itu, selama aku pindah hanya dia berani
menyapaku.
“Hana!” aku
cuma menjawabnya pelan tanpa berusaha membalas uluran tangannya. Kami berdua
kemudian sama-sama menikmati makanan dengan pikiran masing-masing. Aku bisa
merasakan sesekali ia mencuri pandang padaku. Tapi hatiku sudah terlanjur
menganggapnya sama dengan murid lain.
“Hey, Fadli.
Sedang apa di sini??” terdengar suara yang sudah fasih di telinga. Tanpa pikir
panjang dan perintah aku menjauh dari meja itu.
“Eh, kamu mau
ke mana??” Fadli mencegat langkahku. Aku memandangnya datar, tanpa ekpresi dan berlalu
di hadapan mereka.
“Sudahlah,
biar aku temani!!” Sania bergelayutan manja dengan Fadli. Wajah Fadli berubah
menjadi keberatan dengan sikapnya itu.
“Tolong, bisa
lepaskan tanganku, aku ingin menghampiri pacarku!!” serunya agak keras. Saat
itu kantin sedang penuh, dan percakapan seperti ini akan cepat menjadi
perhatian.
“Whaat!! Pacar??”
Sania histeris.
“Iya, dia
pacarku!!” Fadli menunjukku yang tak tahu-menahu. Aku sadar menjadi perhatian
besar saat semua mata tertuju padaku. Dengan polosnya aku kembali makan dan
mengabaikan sekitarku.
“Kok bisa!?”
Sania masih memburu Fadli dengan pertanyaan. Fadli sengaja tidak menjawab pertanyaannya
justru ia malah menghampiri aku. Ia menarik lenganku untuk berdiri
mendampinginya.
“Bisa saja,
buktinya kami sekarang pacaran!!” Ucapan Fadli membulatkan mata dan mulutku.
Apa maksud semua ini??
“Pacaran??” Ucapku
heran pada Fadli. Fadli mengedipkan sebelah matanya, menyuruhku diam. Untuk
meyakinkan Sania, Fadli memeluk pundakku. Sania menatapku marah dan mendengus
meninggalkan kami.
“Auuu!!” aku
menginjak kaki Fadli yang sembarangan memeluk orang lain. Tidak hanya Sania
yang meninggalkannya, aku pun tidak segan-segan meninggalkannya. Meskipun dia
mengerang kesakitan.
Tak jauh dari
perkiraan, gara-gara insiden di kantin aku semakin menjadi bulan-bulanan Sania.
Aku yakin tidak cuma Sania yang
menerorku tapi juga cewek lain yang menggilai Fadli. Seperti hari ini
segerombolan siswi cantik dipimpin oleh Sania menahanku ketika hendak ke luar
dari toilet. Rasa takutku ketika awal menghadapi mereka sudah beradaptasi
dengan baik
“Entah apa
yang dilihat Fadli darimu?? Kamu sama sekali tidak menarik!!” Sania mulai
berstatement. Tangannya mendongakkan daguku secara paksa. “Apa kau punya sesuatu
untuk mendapatkannya??” ia menyeringai.
“Sesuatu itu
biarlah jadi rahasiaku.” ucapku datar.
“Keterlaluan,
kau berani merebut pangeran sekolah kita, kau harus berhadapan dengan kami!!
Tidak seorang yang boleh pun mendapatkannya kecuali sederajat!” dadanya turun
naik menahan letupan amarah.
“Tak ada
rumus seperti itu.” aku masih bersikap dingin terhadap gertakannya. Dan itu
membuatnya kadar emosinya naik.
“Kamu ini
gila, ya? Berani-beraninya melawanku, hah!” Dia berteriak di depan wajahku.
“Kenapa
tidak!!”
“Ok, kalau
begitu! Bawa dia ke dalam!!” Sania memerintahkan anak buahnya menyeretku dan
mengikat tanganku ke belakang. Mulutku pun disumpal dengan kain. Aku mencoba meronta
tapi jumlah mereka mengalahkan tenagaku sendiri. Mereka mendudukkanku di atas
kloset dan satu-persatu memukul wajahku dengan kasar.
Aku merasakan
rasa perih di pipiku dan bibirku. Tapi aku tak bergeming untuk meneteskan ait
mata. Semua itu tak seberapa di banding dengan rasa perih yang ada di hatiku.
Aku menatap tawa mereka dengan sinis. Sebagai puncaknya Sania mengguyurku
dengan air sehingga lebamku terasa lebih perih. Puas menumpahkan kekesalan mereka
meninggalkan aku meringkuk kesakitan.
***
“Hey!!” seseorang
menyapaku saat aku asyik mencari-cari buku referensi makalah. Aku menengok ke
arah sumber bunyi. Seorang cowok yang dengan gampang menyebutku pacarnya tersenyum
manis padaku. “Apa kabar?” katanya lagi.
Sama sekali
aku tidak berminat bertemu dengannya kali ini. Keisengannya malapetaka buatku.
Dan dia hanya memanfaatkan aku untuk keselamatannya sendiri. Ia memperhatikan
wajahku, wajahnya mendekat dan terus mendekati wajahku. Aku meliriknya tajam.
“Apa maumu??”
“Wajahmu
biru, kamu kenapa?” ia menunjuk lebam di pipiku. Jari- jarinya seperti gatal
untuk menyentuh pipiku.
“Tidak
penting buatmu!!” aku menjauh meninggalkannya..
“Hey, aku minta
maaf dengan kejadian di kantin itu!!” ia mencoba mengejar. “Tapi bisakah kita
berteman?” ia menjulurkan tangan tanda deal.
Aku hanya melirik tangannya dan melengos meninggalkannya.
Bukannya
berhenti, yang namanya Fadli itu malah menghantuiku. Setiap kali ia pasti
mencari keberadaanku dan anehnya ia pasti menemukan aku di mana. Di kantin, di
perpustakaan, di atap sekolah sampai tempat parkir ia tetap menemukanku. Fadli
seperti menanamkan chip di tubuhku
yang membuat dia tahu di mana pun posisiku.
“Kamu itu
nggak capek ya mengikutiku?!” ungkapku kesal. Ia menggelengkan kepala dengan memperlihatkan
mata jernihnya. “Aaish!!” aku mendesis menahan amarah.
“Haha...aku
suka sifatmu!!” ia lalu mengacak-acak poni rambutku tanpa izin. “Kau menarik!!”
ucapnya lagi sambil mengimbangi aku berdiri. Jujur, hatiku terusik dengan apa
yang dia katakan, tapi aku berusaha untuk tidak menampakkannya.
“Kau ingin
buku ini!!” Ujarnya dan tanpa perintah ia langsung menjangkau buku di rak
paling atas.”Ini buku favoritku, tentang air!” Eh ia malah promosi. Walau aku
tidak terfokus padanya, sebenarnya aku tertarik mendengarkannya. “Air itu
seperti... menjadi buruk jika kita berpikiran buruk, bagaimana ya kata-katanya
enak!” Ia menggaruk rambut belakang.
“Tergantung
pada persepsi kita??”
“Yah,
begitulah kira-kira!!” aku tertawa melihat sikapnya. Tatapannyalah yang
menyadarkan aku untuk berhenti tertawa.
“Kau manis
kalau tertawa!!” ucapnya kemudian. Cewek mana yang tahan jika disanjung seperti
itu. Aku memalingkan wajah untuk menutupi rona merah pipiku.
“Memalukan!”
bisikku pada diriku sendiri.
Kedekatan
kami yang awalnya kaku sedikit demi sedikit meleleh seperi es. Aku mulai mampu
menerima kehadirannya di kehidupanku sehari-hari. Meski Sania dan gengnya makin
gencar memburuku. Itu tidak mengendurkan persahabatan kami. Sejauh ini aku
hanya berani berharap sebagai seorang sahabat dan dia merupakan sosok yang istimewa
sejak aku pindah. Hanya dia yang mau dekat denganku dan menjadi teman bicara
yang asyik. Ia kadang lebih perhatian dari seorang saudara. Aku seperti
merasakan hangatnya musim semi jika berada di sisinya.
“Hana!!” suara
cempreng itu lagi.
“Aku bosan
berurusan denganmu!!” ujarku ngelonyor
di hadapannya. Ia menahan paksa tanganku.
“Ehm...aku
juga sudah bosan, Hanna!” Aku menatapnya selidik. Tatapannya tetap sama seperti
sebelumnya. “Aku sudah pikirkan ini...seandainya aku tidak mendapatkan Fadli,
itu berarti siapa pun tidak bisa mendapatkannya!!” aku menghela nafas percuma.
“Terserah!!”
tanganku mengibas tangannya. “Sekarang izinkan aku untuk pulang!” ia tersenyum
padaku. Aku sama sekali tidak menyukai senyum itu.
Aku berjalan
menuju gerbang sekolah. Pemandangan siswa yang berhamburan keluar tak kelihatan
lagi karena aku pulang telat hari ini. Dengan santai aku meniti setiap langkah.
Aku pun langsung berlari-lari kecil mengejar lampu hijau untuk menyebrang
jalan. Namun, decitan mobil datang tiba-tiba dari arah kiri, sungguh tak
diduga. Badanku langsung kaku di tempat dengan detakan jantung di atas normal.
Mobil itu
dalam hitungan detik menjangkauku. Aku tidak berani melihat kejadian yang akan
menimpa. Aku dapat merasa tubuhku langsung terdorong ke samping. Rasa sakitku
tak bisa kurasa kan lagi. Bukan, aku memang tidak merasakan sakit. Kuberanikan
membuka mata. Aku memang benar tidak tertabrak. Mobil itu pun sudah tidak ada
di tempat. Hanya ada sosok tergeletak bersimbah darah di situ. Mataku membesar.
“Fadli...Fadli!!”
teriakku setelah menyadari siapa yang mendorongku. Aku mencoba menyadarkannya.
“Fadli...bangun!!” aku gugup sekali dan mulai terisak. “Tolong!!!” aku histeris
meminta bantuan.
“Aku sayang
padamu!!” ucap Fadli seperti gumaman pelan.
“Diamlah,
sebentar lagi ambulan akan datang!” seruku di tengah isakan. Ia malah menggapai
tanganku dan menggenggamnya erat.
“Aku sayang
padamu!” di ujung matanya bergulir air mata. Ia tersenyum padaku sampai
akhirnya genggaman tangannya melemah dan tanganku terlepas.
“Fadli!!” aku
mencoba memanggilnya dan menepuk-nepuk pipinya. Aku tidak ingin memikirkan hal
yang terburuk itu terjadi. Saat itu juga hatiku seperti tersiram cairan cuka,
sakit dan menyebar ke suruh tubuhku seperti racun. Air mataku memenuhi kantong mata
dan mencekat teriakanku. Dia hanya tidur, sugestiku di hatiku.
***
Aku menatap
gundukan tanah baru. Tak ada suara yang kuhasilkan. Diam sesepi kawasan
pemakaman yang ditinggal para pelayat. Aku mengutuki diriku dan menatap sinis
kebodohannya. Kenapa dia berani menolongku dan membuang nyawanya sia-sia.
“Fadli,
kenapa harus kamu? Kenapa tidak dia saja!!” Sania menunjukku.
“Meski kau
mengumpat padaku dia tak akan kembali!!” ocehku meninggalkannya meratap di
tepian kubur Fadli.
Melangkah meninggalkan
tempat istirahat terakhir Fadli, aku baru merasakan sakit yang menusuk. Menusuk
di ujung hatiku, tapi dapat kurasakan sampai diujung-ujung syaraf. Mataku kabur
dan memanas. Isakanku mulai terdengar ditemani deruan nafas. Penyesalan dan
rasa bersalah semuanya campur aduk.
***
“Bodoh, kamu
salah orang!! Kalian akan ku tuntut atas kematiannya!!” aku dikagetkan suara
seseorang di salah satu kloset.
“Mana mungkin kau menuntut kami, kalau kami dituntut, dalang dari semua
ini akan terbongkar” jawaban telpon di seberang sana.
“Hah, kenapa
semuanya jadi rumit begini!!” ia terdengar mengumpat kesal dan tak berapa lama
pintu kloset tersebut terbuka. Dia terbelalak menemui aku ada di depannya.
“Apa yang
kamu bicarakan!!”
“Tidak
penting untukmu!!” ia mencoba lari dari hadapanku.
“Kenapa kau
lakukan itu!!”
“Itu karena
kau!!” Ia berteriak lalu berlari keluar. Aku mengepal kuat tanganku. Marah,
tentu saja.
Perginya
Fadli bukan berarti Sania berhenti menindasku. Sepertinya dia sengaja mencari
fakta dan menyudutkan aku karena dekat dengan Fadli. Semua orang seolah
tersihir dengan kata-katanya dan mulai menjauhkan diri.
Puncaknya
semua murid melakukan penolakan kehadiranku di sekolah. Mereka mengusirku
dengan embel-embel pembunuh. Tak ada sekolah yang mau menerimaku karena murid buangan,
meski aku memiliki setumpuk prestasi.
Aku pikir aku
mampu bertahan di situasi ini. Meski tak ada seorangpun yang menjadi penyemangatku. Ternyata dugaanku salah, aku semakin terpuruk dalam kebencian
dan ketidakberdayaan. Dan hari ini akan kutuntaskan rasa sesak itu. Aku akan
menemui pelaku sebenarnya dan melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Flashback berakhir.
***
Sosok itu
berlari-lari bersama tetesan air mata. Di setiap tetesnya berisi penyesalan.
Titik kecil isi hatinya membuka matanya lebar. Amarahnyalah yang membuatnya nekat.
Kini bukan
ketenangan yang digadang-gadang yang ia dapat, tapi semakin terpuruk dan lemah.
Dia tidak ada bedanya dengan cewek yang dibencinya. Penyesalan tak ada gunanya
lagi sekarang. Sambil mengumpulkan kekuatan dia berjalan lunglai menemui
seorang berseragam aparat.
“Pak, saya yang
membunuhnya!!”
0 komentar :
Post a Comment
Untuk kemajuan blog ini, silahkan keluarkan kritik dan komentar anda! Thanks :)