Content

Kelabu di Langit

Saturday, 21 April 2012

Langit hari ini mulai dihiasi butiran air hujan. Tetes demi tetesnya membentuk aliran sungai kecil di tepian jalan hitam. Sepasang mata misterius memantau tiga cewek berseragam sekolah. Matanya menyipit memastikan dia tidak salah orang. Sosok misterius itu merapatkan jaketnya dan berlari menerobos hujan. Digenggamnya tongkat baseball dengan kuat menutupi rasa takutnya. Cewek yang diamatinya sekarang tinggal seorang diri.
“Mau apa kamu ke sini??” cewek itu menyadari kehadiran si misterius. Tanpa berkata-kata lagi tongkat baseball itu langsung melayang ke wajahnya. Cewek berseragam langsung ambruk dengan bersimbah darah. Matanya masih sempat melirik sinis pada korban sebelum pergi seperti sekelebat bayangan hitam.
Hampir sekitar sejam kemudian orang baru mengenali ada mayat yang sudah pucat dan dingin terguyur air hujan. Orang-orang bergerombol ingin tahu apa yang terjadi seperti semut menemukan gula manis.
***
Flashback
Aku baru saja pindah ke sebuah sekolah favorit. Kepindahanku karena prestasi yang kuraih selama ini. Siapa yang tidak senang bisa ada di sekolah yang diimpikan semua orang dan rujukan bagi sekolah menengah atas lain. Kakiku terasa melayang saat aku mulai memasuki gerbang. Aku berharap di sini bisa mendapatkan teman baru dan menyenangkan.
“Hai!!” kucoba menyapa ramah teman satu kelas. Tapi dugaaanku salah sepertinya, mereka hanya menatapku tajam tanpa ada respon sedikit pun. Aku duduk tanpa tahu harus melakukan apa.
“Hey, katanya kamu siswa pindahan?” seorang cewek manis mendekatiku.
“Iya!!” aku membalasnya disertai senyuman. Tak ada senyum balasan hanya ada lirikan sinis yang kudapat.
“Katanya kamu pintar, ya??” ia mendekatkan wajahnya dan menatapku lekat. “Bisakan mengerjakan ini untukku?!” cewek itu menyodorkan selembar kertas yang dipenuhi tugas.
“Apa maksudmu?” aku belum terlalu mengerti maksudnya.
“Jangan banyak tanya, kerjakanlah saja!!” ia berteriak dan melempar kertas tugas itu tepat di wajahku. Kami berdua jadi tontonan gratis satu kelas.
“Maksudnya apa ini??” Aku berdiri dan menghentakkan tangan di meja. Reaksiku membuatnya terkejut sejenak. Ia kemudian memamerkan senyum mengejeknya lagi. Ia semakin mendekat padaku, tepatnya ke telingaku.
“Kenalkan aku Sania, kerjakan saja tugas itu, atau beasiswamu dicabut!!” bisiknya. Ia meninggalkan aku sambil tetap tersenyum manis. Aku menatapnya tidak berdaya meski hatiku merasa geram.
Hari itu bukan satu-satunya aku berurusan dengan cewek bernama Sania itu. Ia sepertinya sengaja mengangguku dan tidak menyukai keberadaanku di sekolah ini. Dan seperti hukum alam juga setiap orang yang berurusan dengannya akan susah bergerak dan bersosialisasi dengan orang lain. Tak ada yang mau dekat denganku.
“Boleh aku duduk di sini?!”  tak seperti biasanya ada seorang meminta izin duduk di sampingku. Seorang cowok lagi, itu adalah hal langka. Aku hanya memandangnya sekilas lalu mengangguk. Kuakui dia termasuk kategori ganteng
“Ngomong-ngomong aku baru melihatmu, apa kamu murid baru?” tanyanya lagi. Aku mengangguk mesti tidak memandang ke arahnya. “Perkenalkan aku Fadli!!” Ia lantas menyodorkan tangannya. Aku menatap lekat tangannya itu, selama aku pindah hanya dia berani menyapaku.
“Hana!” aku cuma menjawabnya pelan tanpa berusaha membalas uluran tangannya. Kami berdua kemudian sama-sama menikmati makanan dengan pikiran masing-masing. Aku bisa merasakan sesekali ia mencuri pandang padaku. Tapi hatiku sudah terlanjur menganggapnya sama dengan murid lain.
“Hey, Fadli. Sedang apa di sini??” terdengar suara yang sudah fasih di telinga. Tanpa pikir panjang dan perintah aku menjauh dari meja itu.
“Eh, kamu mau ke mana??” Fadli mencegat langkahku. Aku memandangnya datar, tanpa ekpresi dan berlalu di hadapan mereka.
“Sudahlah, biar aku temani!!” Sania bergelayutan manja dengan Fadli. Wajah Fadli berubah menjadi keberatan dengan sikapnya itu.
“Tolong, bisa lepaskan tanganku, aku ingin menghampiri pacarku!!” serunya agak keras. Saat itu kantin sedang penuh, dan percakapan seperti ini akan cepat menjadi perhatian.
“Whaat!! Pacar??” Sania histeris.
“Iya, dia pacarku!!” Fadli menunjukku yang tak tahu-menahu. Aku sadar menjadi perhatian besar saat semua mata tertuju padaku. Dengan polosnya aku kembali makan dan mengabaikan sekitarku.
“Kok bisa!?” Sania masih memburu Fadli dengan pertanyaan. Fadli sengaja tidak menjawab pertanyaannya justru ia malah menghampiri aku. Ia menarik lenganku untuk berdiri mendampinginya.
“Bisa saja, buktinya kami sekarang pacaran!!” Ucapan Fadli membulatkan mata dan mulutku. Apa maksud semua ini??
“Pacaran??” Ucapku heran pada Fadli. Fadli mengedipkan sebelah matanya, menyuruhku diam. Untuk meyakinkan Sania, Fadli memeluk pundakku. Sania menatapku marah dan mendengus meninggalkan kami.
“Auuu!!” aku menginjak kaki Fadli yang sembarangan memeluk orang lain. Tidak hanya Sania yang meninggalkannya, aku pun tidak segan-segan meninggalkannya. Meskipun dia mengerang kesakitan.
Tak jauh dari perkiraan, gara-gara insiden di kantin aku semakin menjadi bulan-bulanan Sania. Aku yakin tidak cuma Sania  yang menerorku tapi juga cewek lain yang menggilai Fadli. Seperti hari ini segerombolan siswi cantik dipimpin oleh Sania menahanku ketika hendak ke luar dari toilet. Rasa takutku ketika awal menghadapi mereka sudah beradaptasi dengan baik
“Entah apa yang dilihat Fadli darimu?? Kamu sama sekali tidak menarik!!” Sania mulai berstatement. Tangannya mendongakkan daguku secara paksa. “Apa kau punya sesuatu untuk mendapatkannya??” ia menyeringai.
“Sesuatu itu biarlah jadi rahasiaku.” ucapku datar.
“Keterlaluan, kau berani merebut pangeran sekolah kita, kau harus berhadapan dengan kami!! Tidak seorang yang boleh pun mendapatkannya kecuali sederajat!” dadanya turun naik menahan letupan amarah.
“Tak ada rumus seperti itu.” aku masih bersikap dingin terhadap gertakannya. Dan itu membuatnya kadar emosinya naik.
“Kamu ini gila, ya? Berani-beraninya melawanku, hah!” Dia berteriak di depan wajahku.
“Kenapa tidak!!”
“Ok, kalau begitu! Bawa dia ke dalam!!” Sania memerintahkan anak buahnya menyeretku dan mengikat tanganku ke belakang. Mulutku pun disumpal dengan kain. Aku mencoba meronta tapi jumlah mereka mengalahkan tenagaku sendiri. Mereka mendudukkanku di atas kloset dan satu-persatu memukul wajahku dengan kasar.
Aku merasakan rasa perih di pipiku dan bibirku. Tapi aku tak bergeming untuk meneteskan ait mata. Semua itu tak seberapa di banding dengan rasa perih yang ada di hatiku. Aku menatap tawa mereka dengan sinis. Sebagai puncaknya Sania mengguyurku dengan air sehingga lebamku terasa lebih perih. Puas menumpahkan kekesalan mereka meninggalkan aku meringkuk kesakitan.
***
“Hey!!” seseorang menyapaku saat aku asyik mencari-cari buku referensi makalah. Aku menengok ke arah sumber bunyi. Seorang cowok yang dengan gampang menyebutku pacarnya tersenyum manis padaku. “Apa kabar?” katanya lagi.
Sama sekali aku tidak berminat bertemu dengannya kali ini. Keisengannya malapetaka buatku. Dan dia hanya memanfaatkan aku untuk keselamatannya sendiri. Ia memperhatikan wajahku, wajahnya mendekat dan terus mendekati wajahku. Aku meliriknya tajam.
“Apa maumu??”
“Wajahmu biru, kamu kenapa?” ia menunjuk lebam di pipiku. Jari- jarinya seperti gatal untuk menyentuh pipiku.
“Tidak penting buatmu!!” aku menjauh meninggalkannya..
“Hey, aku minta maaf dengan kejadian di kantin itu!!” ia mencoba mengejar. “Tapi bisakah kita berteman?” ia menjulurkan tangan tanda deal. Aku hanya melirik tangannya dan melengos meninggalkannya.
Bukannya berhenti, yang namanya Fadli itu malah menghantuiku. Setiap kali ia pasti mencari keberadaanku dan anehnya ia pasti menemukan aku di mana. Di kantin, di perpustakaan, di atap sekolah sampai tempat parkir ia tetap menemukanku. Fadli seperti menanamkan chip di tubuhku yang membuat dia tahu di mana pun posisiku.
“Kamu itu nggak capek ya mengikutiku?!” ungkapku kesal. Ia menggelengkan kepala dengan memperlihatkan mata jernihnya. “Aaish!!” aku mendesis menahan amarah.
“Haha...aku suka sifatmu!!” ia lalu mengacak-acak poni rambutku tanpa izin. “Kau menarik!!” ucapnya lagi sambil mengimbangi aku berdiri. Jujur, hatiku terusik dengan apa yang dia katakan, tapi aku berusaha untuk tidak menampakkannya.
“Kau ingin buku ini!!” Ujarnya dan tanpa perintah ia langsung menjangkau buku di rak paling atas.”Ini buku favoritku, tentang air!” Eh ia malah promosi. Walau aku tidak terfokus padanya, sebenarnya aku tertarik mendengarkannya. “Air itu seperti... menjadi buruk jika kita berpikiran buruk, bagaimana ya kata-katanya enak!” Ia menggaruk rambut belakang.
“Tergantung pada persepsi kita??”
“Yah, begitulah kira-kira!!” aku tertawa melihat sikapnya. Tatapannyalah yang menyadarkan aku untuk berhenti tertawa.
“Kau manis kalau tertawa!!” ucapnya kemudian. Cewek mana yang tahan jika disanjung seperti itu. Aku memalingkan wajah untuk menutupi rona merah pipiku.
“Memalukan!” bisikku pada diriku sendiri.
Kedekatan kami yang awalnya kaku sedikit demi sedikit meleleh seperi es. Aku mulai mampu menerima kehadirannya di kehidupanku sehari-hari. Meski Sania dan gengnya makin gencar memburuku. Itu tidak mengendurkan persahabatan kami. Sejauh ini aku hanya berani berharap sebagai seorang sahabat dan dia merupakan sosok yang istimewa sejak aku pindah. Hanya dia yang mau dekat denganku dan menjadi teman bicara yang asyik. Ia kadang lebih perhatian dari seorang saudara. Aku seperti merasakan hangatnya musim semi jika berada di sisinya.
“Hana!!” suara cempreng itu lagi.
“Aku bosan berurusan denganmu!!” ujarku ngelonyor di hadapannya. Ia menahan paksa tanganku.
“Ehm...aku juga sudah bosan, Hanna!” Aku menatapnya selidik. Tatapannya tetap sama seperti sebelumnya. “Aku sudah pikirkan ini...seandainya aku tidak mendapatkan Fadli, itu berarti siapa pun tidak bisa mendapatkannya!!” aku menghela nafas percuma.
“Terserah!!” tanganku mengibas tangannya. “Sekarang izinkan aku untuk pulang!” ia tersenyum padaku. Aku sama sekali tidak menyukai senyum itu.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Pemandangan siswa yang berhamburan keluar tak kelihatan lagi karena aku pulang telat hari ini. Dengan santai aku meniti setiap langkah. Aku pun langsung berlari-lari kecil mengejar lampu hijau untuk menyebrang jalan. Namun, decitan mobil datang tiba-tiba dari arah kiri, sungguh tak diduga. Badanku langsung kaku di tempat dengan detakan jantung di atas normal.
Mobil itu dalam hitungan detik menjangkauku. Aku tidak berani melihat kejadian yang akan menimpa. Aku dapat merasa tubuhku langsung terdorong ke samping. Rasa sakitku tak bisa kurasa kan lagi. Bukan, aku memang tidak merasakan sakit. Kuberanikan membuka mata. Aku memang benar tidak tertabrak. Mobil itu pun sudah tidak ada di tempat. Hanya ada sosok tergeletak bersimbah darah di situ. Mataku membesar.
“Fadli...Fadli!!” teriakku setelah menyadari siapa yang mendorongku. Aku mencoba menyadarkannya. “Fadli...bangun!!” aku gugup sekali dan mulai terisak. “Tolong!!!” aku histeris meminta bantuan.
“Aku sayang padamu!!” ucap Fadli seperti gumaman pelan.
“Diamlah, sebentar lagi ambulan akan datang!” seruku di tengah isakan. Ia malah menggapai tanganku dan menggenggamnya erat.
“Aku sayang padamu!” di ujung matanya bergulir air mata. Ia tersenyum padaku sampai akhirnya genggaman tangannya melemah dan tanganku terlepas.
“Fadli!!” aku mencoba memanggilnya dan menepuk-nepuk pipinya. Aku tidak ingin memikirkan hal yang terburuk itu terjadi. Saat itu juga hatiku seperti tersiram cairan cuka, sakit dan menyebar ke suruh tubuhku seperti racun. Air mataku memenuhi kantong mata dan mencekat teriakanku. Dia hanya tidur, sugestiku di hatiku.
***
Aku menatap gundukan tanah baru. Tak ada suara yang kuhasilkan. Diam sesepi kawasan pemakaman yang ditinggal para pelayat. Aku mengutuki diriku dan menatap sinis kebodohannya. Kenapa dia berani menolongku dan membuang nyawanya sia-sia.
“Fadli, kenapa harus kamu? Kenapa tidak dia saja!!” Sania menunjukku.
“Meski kau mengumpat padaku dia tak akan kembali!!” ocehku meninggalkannya meratap di tepian kubur Fadli.
Melangkah meninggalkan tempat istirahat terakhir Fadli, aku baru merasakan sakit yang menusuk. Menusuk di ujung hatiku, tapi dapat kurasakan sampai diujung-ujung syaraf. Mataku kabur dan memanas. Isakanku mulai terdengar ditemani deruan nafas. Penyesalan dan rasa bersalah semuanya campur aduk.
***
“Bodoh, kamu salah orang!! Kalian akan ku tuntut atas kematiannya!!” aku dikagetkan suara seseorang di salah satu kloset.
“Mana mungkin kau menuntut kami, kalau kami dituntut, dalang dari semua ini akan terbongkar” jawaban telpon di seberang sana.
“Hah, kenapa semuanya jadi rumit begini!!” ia terdengar mengumpat kesal dan tak berapa lama pintu kloset tersebut terbuka. Dia terbelalak menemui aku ada di depannya.
“Apa yang kamu bicarakan!!”
“Tidak penting untukmu!!” ia mencoba lari dari hadapanku.
“Kenapa kau lakukan itu!!”
“Itu karena kau!!” Ia berteriak lalu berlari keluar. Aku mengepal kuat tanganku. Marah, tentu saja.
Perginya Fadli bukan berarti Sania berhenti menindasku. Sepertinya dia sengaja mencari fakta dan menyudutkan aku karena dekat dengan Fadli. Semua orang seolah tersihir dengan kata-katanya dan mulai menjauhkan diri.
Puncaknya semua murid melakukan penolakan kehadiranku di sekolah. Mereka mengusirku dengan embel-embel pembunuh. Tak ada sekolah yang mau menerimaku karena murid buangan, meski aku memiliki setumpuk prestasi.
Aku pikir aku mampu bertahan di situasi ini. Meski tak ada seorangpun yang menjadi penyemangatku. Ternyata dugaanku salah, aku semakin terpuruk dalam kebencian dan ketidakberdayaan. Dan hari ini akan kutuntaskan rasa sesak itu. Aku akan menemui pelaku sebenarnya dan melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Flashback berakhir.
***
Sosok itu berlari-lari bersama tetesan air mata. Di setiap tetesnya berisi penyesalan. Titik kecil isi hatinya membuka matanya lebar. Amarahnyalah  yang membuatnya nekat.
Kini bukan ketenangan yang digadang-gadang yang ia dapat, tapi semakin terpuruk dan lemah. Dia tidak ada bedanya dengan cewek yang dibencinya. Penyesalan tak ada gunanya lagi sekarang. Sambil mengumpulkan kekuatan dia berjalan lunglai menemui seorang berseragam aparat.
“Pak, saya yang membunuhnya!!”

0 komentar :

Post a Comment

Untuk kemajuan blog ini, silahkan keluarkan kritik dan komentar anda! Thanks :)

Find Me On

Facebook  Twitter 

Followers

Quote

"Kita tidak tahu apa yang terjadi esok hari, tapi yakinkan hari ini dirimu bahagia - Aida"

Blog Archive

Labels

Pengunjung